KLUNGKUNG - Kasus dugaan korupsi dana komite dan Program Indonesia Pintar (PIP) di SMKN 1 Klungkung memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Klungkung menegaskan pendiriannya untuk tetap menuntut terdakwa Siarsana dengan pidana penjara selama enam tahun. Keputusan ini diambil meski tim kuasa hukum terdakwa, yang dipimpin Nengah Sukardika dan Ida Dewa Dwi Yanti, telah menyampaikan pembelaan (pledoi) yang berargumen bahwa kasus ini murni kesalahan administrasi dan meminta kliennya dibebaskan.
Dalam pledoinya, kuasa hukum terdakwa mengakui adanya kekeliruan dalam konteks pelanggaran administrasi manajerial yang dilakukan Siarsana. Namun, mereka bersikeras bahwa tidak ada unsur niat jahat pidana yang terbukti. Pihak pembela menilai penerapan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) keliru karena dinilai gagal membuktikan unsur esensial, yaitu adanya tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Penggunaan dana komite dan PIP untuk tujuan sosial, seperti mencegah siswa putus sekolah di masa pandemi Covid-19, dianggap tidak menimbulkan kerugian keuangan negara yang nyata dan riil.
Namun, JPU I Putu Iskadi Kekeran dan timnya tetap yakin dengan kesimpulan mereka. Berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, dan bukti-bukti yang terhimpun, JPU meyakini Siarsana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Tuntutan enam tahun penjara ini merujuk pada dakwaan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saat pemeriksaan sebagai terdakwa, Siarsana sempat menjelaskan alasannya menggunakan dana PIP untuk menutupi kekurangan dana komite. Ia berkelit bahwa situasi pandemi Covid-19 mendorongnya untuk 'membantu' siswa yang tidak mampu membayar uang komite. Namun, ketika ditanya oleh majelis hakim yang diketuai Ida Bagus Made Ari Suamba mengenai persetujuan dari penerima PIP atau adanya kuasa untuk mengalihkan dana beasiswa tersebut ke dana komite, Siarsana mengaku tidak ada.
“Karena saat itu Covid-19 yang mulia, saya bermaksud membantu, ” ujar terdakwa Siarsana, Jumat (31/10/2025). Majelis hakim kemudian menyoroti bahwa tindakan tersebut sama saja dengan menggunakan hak orang lain tanpa izin yang jelas, dan menilai itu adalah ide pribadi terdakwa.
Pengakuan terdakwa tidak berhenti di situ. Ia juga mengakui adanya penggunaan dana komite untuk renovasi ruangan kepala sekolah dan dana sebesar Rp 5 juta untuk keperluan perjalanan dinas. Fakta-fakta ini semakin memperkuat dugaan pelanggaran yang memberatkan posisi terdakwa dalam persidangan.
Sebelumnya, Siarsana telah dijatuhi pidana penjara selama enam tahun oleh Pengadilan Negeri Klungkung, dikurangi masa penahanan yang telah dijalani. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Lebih berat lagi, terdakwa dibebani kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 910.444.278, 81. Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap uang pengganti tersebut tidak dibayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Apabila harta benda tidak mencukupi, ia akan dikenakan pidana penjara tambahan selama empat tahun. (PERS)

Updates.